Adakah Krisis Moralitas dalam Kesusastraan Indonesia?
SELAIN bahasa yang sering disebut-sebut sebagai salah satu biang yang mengakibatkan krisis sastra masa kini di
Indonesia, moralitas juga sekarang menjadi fokus para penulis senior ataupun para akademisi. Saya merasa sangat
terusik untuk membahas soal krisis moral dalam sastra Indonesia yang konon oleh beberapa penulis senior ibarat tubuh
yang sudah kehilangan kepala. Yang dimaksud penulis-penulis ini tentu saja adalah sastra modern seakan-akan sangat
terjerumus dalam persoalan eros dan erotisisme ketimbang moralitas.
Pergunjingan soal moralitas muncul dalam kesusastraan dan kebudayaan pada awal agama mulai tersebar luas dalam
peradaban. Sebelumnya moralitas dalam karya-karya drama ataupun mitos Yunani terasa sangat terbuka dan sifatnya
tidak mengkhotbah, tetapi lebih sering merupakan sebuah ungkapan dari kehidupan, atau lebih tepatnya seperti disebut
oleh Nietzsche, The Gay Science, yang intinya adalah bahwa moralitas pun merupakan suatu aspek ringan atau komedi
dalam kehidupan kita. Moralitas menjadi momok yang sering dipergunakan oleh para wali keagamaan untuk menindas
para pemikir dan pekerja kesenian selama berabad-abad. Walaupun demikian, dari masa ke masa, dari peralihan zaman
pencerahan hingga ke era Victoria hingga masa kini, moralitas tidak hentinya digempur oleh para penulis dan seniman di
mana pun.
Adalah suatu pemikiran yang sangat kolot dan antimodernisme untuk meneropong sastra Indonesia saat ini bagaikan
seorang moralis yang merasa jijik melihat kenyataan bahwa dunia yang bajik dan sangat sempurna yang dihuni mereka
sudah berubah begitu dahsyatnya. Keberatan mereka seharusnya ditujukan pada persoalan kehidupan masa kini yang
memang sejak perang dunia kedua telah usang, daripada menekan para penulis sastra masa kini yang ingin
membawakan berbagai kompleksitas kehidupan masa kini dalam karya-karya mereka. Keberanian dari para penulis ini,
menurut saya patut kita puji, karena penulis-penulis ini telah beranjak jauh dari zaman di mana sastra masih ditindas oleh
kekangan masyarakat ataupun agama, seperti pada masa Flaubert, yang karyanya Madame Bovary dihujat sebagai
amoral, dan zaman DH Lawrence, yang karyanya Lady Chatterly’s Lover dianggap mesum, dan James Joyce dengan
karyanya Ulysses yang terpaksa harus diterbitkan di Perancis, karena dianggap porno! Tetapi sebelum para penulis
berani ini, mereka sudah punya kolega yang tidak kalah beraninya: Daniel Dafoe di abad ke-18, dengan karya yang berani
Moll Flanders tentang pelacuran, di abad ke-16, Rabelais dengan karya Gargantua and Pantagruel yang heboh karena
keberaniannya mencatat kebobrokan manusia dalam del-del yang berani, dan Chaucer, di abad ke-14 bahkan
sebelum Shakespeare, dengan karyanya Canterbury’s Tales, melukiskan keanekaragaman karakter manusia dari yang
munafik hingga yang seronok.
Di masanya, penulis-penulis ini dianggap sangat kontroversial dan sering ditindas oleh para wali agama ataupun
penguasa, tetapi hari ini mereka kita anggap sebagai pahlawan-pahlawan sastra yang karyanya dipelajari oleh siswa-
siswa di sekolah di segala penjuru dunia.
Penafsiran pada suatu karya sastra menurut saya menjadi problematika kalau tolok ukurnya adalah moralitas. Penulis
sastra tidak bertanggung jawab pada suatu masyarakat ataupun pembaca akan keabsahan moralitas mereka dalam
karya-karya yang ditampilkannya. Seorang seniman menciptakan sebuah karya tidak berdasarkan suatu konsensus
massa ataupun masa, tujuan akhir dari sebuah karya bukanlah betapa tingginya nilai moralitas yang dicapai tetapi
seberapa jauhnya estetika ataupun moralitas yang dianut sekelompok masyarakat dapat digeserkan. Karena melalui tiap
pergeseran ini, yang sebenarnya juga merupakan cerminan dari masyarakat itu sendiri, maka terciptalah karya-karya
terobosan besar. Persoalan menjadi semakin runyam ketika penulis-penulis yang berani menulis karya-karya yang berani
dikaitkan dengan kebobrokan pribadi mereka. Atau mereka dianggap pengaruh negatif yang merusak serat moralitas
masyarakat.
Di sini letak kemunafikan suatu komunitas. Karena di satu sisi para seniman diminta untuk melakukan terobosan dengan
berani dalam karya-karya mereka, di sisi lain mereka juga diberikan batas-batas kelayakan yang dianggap merupakan
konsensus umum yang perlu dipertahankan. Alasan mereka selalu adalah bila tidak pilar-pilar kesusilaan sipil akan
roboh. Apakah kehebatan suatu masyarakat dan kemandiriannya bisa dirobohkan oleh karya-karya seni? Pertanyaan
selanjutnya adalah bagaimana suatu karya seni bisa melakukan terobosan dengan batas-batas seperti ditetapkan oleh
para petinggi moralitas itu? Saya kira pertanyaan balasan yang tepat adalah kenapa pula kita perlu takut dengan karya-
karya berani ini? Kalau kita tidak ingin anak-anak kita membaca karya-karya tertentu, atau pemikiran kita bahwa mereka
masih belum siap membaca karya-karya tertentu, kita bisa melarang mereka untuk tidak membaca karya-karya itu. Jadi
batas-batas kelayakan pada karya sastra tidak perlu kita pergunjingkan sebagai persoalan publik tetapi membataskannya
menjadi suatu persoalan individu. Seperti juga bagaimana kita menyambut dengan gembira buku-buku berbobot
moralitas tinggi, kita seharusnya juga bisa menyambut dengan toleransi yang tinggi buku-buku yang berani menerobos ’
batas-batas’ kelayakan itu. Keberatan kita dan ketakutan kita menerima karya-karya tersebut hanya mencerminkan
keangkuhan supremasi moralitas kita atau memberikan kesan seakan batas zona keamanan pribadi sedang terancam.
Di sini kita perlu bedakan antara erotisisme dan pornografi, karena kedua hal sering disalahtafsirkan, atau menjadi
tercampuraduk dalam pembahasan soal kelayakan dalam satu karya seni. Eros dan erotisisme oleh Octavio Paz
digambarkan sebagai kecenderungan yang normal bagi manusia yang punya imajinasi dan budi pekerti. Berbeda dengan
hewan yang dalam tindakan seksualnya hanya untuk mereproduksi, menurut Octavio Paz, manusia mempunyai kapasitas
untuk merasakan kenikmatan dan punya daya imajinasi yang tinggi untuk menambah nilai kenikmatan itu dalam
hubungan seksual. Dengan demikian, erotisisme adalah bagian yang wajar dari fakultas manusiawi, sedangkan
pornografi adalah suatu penghasutan indera yang tidak mempunyai nilai imajinasi. Repetisi imaji yang ditampilkan untuk
menggugah berahi terlihat jelas sangat mekanis dan tidak mempunyai nilai-nilai estetika ataupun tujuan lain selain
menggugah insting-insting purba dalam diri kita.
Berbicara tentang estetika dan etika, perlu juga kita bahas apakah sebuah karya perlu ada sebuah tujuan etika yang
konkret. Perlukah sebuah karya punya misi moralitas? Inilah antara lain hal yang sering dipersoalkan dalam pembahasan
krisis moral dalam kesusastraan kita. Persoalan ini menurut saya akan sangat sulit diselesaikan karena kalau kita
serapkan apa yang ditulis oleh Nietzsche dalam karyanya The Genealogy of Morals, maka sangat jelas sekali bahwa
seharusnya kita menanggapi pergeseran moralitas dalam karya seni dengan keringanan jiwa. Karena persoalan
moralitas akan sangat relatif. Bagaimana seseorang mengukur batas-batas etika yang seharusnya ataupun seharusnya
tidak dilanggar dalam sebuah karya? Apakah karya-karya seni harus merujuk pada suatu pakam moralitas suatu
kepercayaan ataupun suatu konsensus massa? Bila demikian halnya, saya kira karya-karya yang diciptakan tidak lagi bisa
dikategorikan sebagai karya seni, tetapi lebih mendekati karya-karya hymna bagi suatu kepercayaan.
Tuntutan pada seorang seniman menjadi seorang panutan moralitas tinggi menurut saya adalah penafsiran yang salah
pada fungsi seorang seniman. Penafsiran ini seakan menempatkan seorang seniman pada posisi seorang pengkhotbah
ataupun seorang wali terhormat dari suatu masyarakat. Pemikiran demikian sangat bertolak belakang dengan kenyataan
posisi seorang seniman. Seniman di bidang mana pun senantiasa akan tetap merupakan manusia marjinal. Posisi
mereka, bila bukan karena dalam realitas mereka memang terpojok ke pinggiran kehidupan, adalah pilihan mereka
sendiri dalam menempatkan diri di pinggiran sehingga mereka dapat menyaksikan ataupun meneropong dunia dari
dekat, yang kemudian, melalui kepedihan hasil pergelutan kehidupan mereka dengan dunia ataupun kejeliannya dalam
mengupas kehidupan di hadapan mata mereka, akan menjelma menjadi keoriginalitas karya-karya seniman itu.
Lihat dalam sejarah kesusastraan dunia dan Anda akan menemukan nama-nama besar seperti Rimbaud, penyair muda
yang berhenti menulis syair pada saat dia berumur 20 tahun, yang mempunyai metode khusus mengakses keaslian
jiwanya dengan membius otaknya dengan rangsangan alkohol dalam kuantitas yang tinggi. Pelbagai penggunaan obat
terlarang juga dilakukan oleh penulis-penulis besar, seperti dengan opium oleh Graham Greene, LSD oleh semua
penulis generasi Beatnik dari Allen Ginsberg hingga Jack Keruac, dan di era 80-an, kokain oleh Jay McInnerny, dan
alkohol, pilihan Bacchus favorit rata-rata semua penulis, dari William Faulkner hingga Dylan Thomas. Mereka ini manusia
besar dalam kesusastraan yang gagal dalam ketertiban kehidupan sehari-hari. Mereka jauh dari manusia sempurna yang
didambakan banyak orang. Karya-karya mereka diciptakan juga bukan untuk diukur dari segi bobot moralitas pribadi
mereka, tetapi dari kedalaman jiwa mereka yang lahir dari pergesekan mereka dengan dunia.
Sampai di sini, saya mendengar keluhan sang moralis yang menanyakan, "Jadi apa fungsi sastra sebenarnya?" Sastra
menurut saya adalah muntahan balik dari seorang penulis kepada masyarakatnya. Keberaniannya dan ketulusannya
dalam berkarya adalah keoriginalitas suaranya. Perkembangan sastra sudah lama bergeser dari karya-karya sastra yang
gentil. Karya-karya penuh bobot moralitas Jane Austen hingga Nathaniel Hawthorn sudah tergeser oleh karya-karya
pembangkang seperti Flaubert, James Joyce, DH Lawrence, Baudelaire, dan pada era modern oleh hampir semua
penulis berani dari Jean Genet, Allen Ginsberg, Bukowski, John Fante hingga oleh pemenang Nobel tahun 2004 Elfriede
Jelinek. Hampir semua tabu dalam kehidupan sudah dilabrak oleh penulis-penulis ini. Adalah sangat egois bagi para
petinggi moralitas di negara kita menuntut bahwa penulis-penulis kita kembali ke zaman abad pertengahan dan
mengabadikan karya-karya mereka pada kebesaran moralitas dengan huruf M besar, sedangkan perkembangan sastra
dunia sudah berlaju demikian maju dan sudah lama meninggalkan rambu-rambu moralitas yang masih dipersoalkan kita.
Karena selain tidak mungkin memutarbalikkan perkembangan masa, saya rasa tuntutan para petinggi moralitas ini
sangat mengganjal perkembangan sastra di negeri ini. Persoalan moralitas seharusnya dibahas dalam konteks di luar
kesenian seperti dalam forum kebatinan ataupun dalam kajian sosiologi. Karena persoalan moralitas sangat
berseberangan dengan penciptaan karya seni. Seniman tidak kenal rambu-rambu moralitas dalam penciptaan mereka.
Yang disasarkan dalam setiap karya seni bukan lagi capaian moralitas, tetapi capaian originalitas dalam suara, visi
ataupun estetika. Sastra dunia sudah mencapai titik capaian yang begitu maju sehingga ia tidak lagi mencoba mengupas
moralitas manusia tetapi lebih pada bagaimana menangkap dilema ataupun paradoks manusia dalam sekeping
kehidupannya. Kadang bahkan tanpa suatu tujuan ataupun subyek yang jelas, selain potret-portret kecil suatu kehidupan
seperti yang ditampilkan dalam cerita-cerita penulis Sicilia Giovanni Verga.
Menutup penulisan ini saya ingin mengutip Oscar Wilde, juga salah satu spirit pembangkang dalam kesusastraan yang
ditindas oleh para petinggi moralitas masyarakatnya pada masanya. Dia mengatakan bahwa kebenaran tidak lagi benar
bila ia diterima oleh semua pihak. Semangat setiap pekerja kreatif adalah bagaimana berbagi kebenaran individunya
dengan dunia di mana dia bercokol. Persembahan mereka yang diperoleh dari tetes-tetes darah jiwa mereka merupakan
ungkapan kecintaan ataupun ketulusan mereka pada dunia. Penindasan, penghujatan, pendakwahan negatif pada karya-
karya seni sudah bukan hal baru lagi bagi mereka, dan tidak pernah berhasil menghalangi mereka, bahkan malah
mengobarkan semangat mereka, untuk tetap menampilkan tiap karya mereka dengan keberanian dan ketulusan yang
tidak dapat dikompromikan. *
Richard Oh Direktur Toko Buku QB
Sumber: Kompas Cyber Media
SELAIN bahasa yang sering disebut-sebut sebagai salah satu biang yang mengakibatkan krisis sastra masa kini di
Indonesia, moralitas juga sekarang menjadi fokus para penulis senior ataupun para akademisi. Saya merasa sangat
terusik untuk membahas soal krisis moral dalam sastra Indonesia yang konon oleh beberapa penulis senior ibarat tubuh
yang sudah kehilangan kepala. Yang dimaksud penulis-penulis ini tentu saja adalah sastra modern seakan-akan sangat
terjerumus dalam persoalan eros dan erotisisme ketimbang moralitas.
Pergunjingan soal moralitas muncul dalam kesusastraan dan kebudayaan pada awal agama mulai tersebar luas dalam
peradaban. Sebelumnya moralitas dalam karya-karya drama ataupun mitos Yunani terasa sangat terbuka dan sifatnya
tidak mengkhotbah, tetapi lebih sering merupakan sebuah ungkapan dari kehidupan, atau lebih tepatnya seperti disebut
oleh Nietzsche, The Gay Science, yang intinya adalah bahwa moralitas pun merupakan suatu aspek ringan atau komedi
dalam kehidupan kita. Moralitas menjadi momok yang sering dipergunakan oleh para wali keagamaan untuk menindas
para pemikir dan pekerja kesenian selama berabad-abad. Walaupun demikian, dari masa ke masa, dari peralihan zaman
pencerahan hingga ke era Victoria hingga masa kini, moralitas tidak hentinya digempur oleh para penulis dan seniman di
mana pun.
Adalah suatu pemikiran yang sangat kolot dan antimodernisme untuk meneropong sastra Indonesia saat ini bagaikan
seorang moralis yang merasa jijik melihat kenyataan bahwa dunia yang bajik dan sangat sempurna yang dihuni mereka
sudah berubah begitu dahsyatnya. Keberatan mereka seharusnya ditujukan pada persoalan kehidupan masa kini yang
memang sejak perang dunia kedua telah usang, daripada menekan para penulis sastra masa kini yang ingin
membawakan berbagai kompleksitas kehidupan masa kini dalam karya-karya mereka. Keberanian dari para penulis ini,
menurut saya patut kita puji, karena penulis-penulis ini telah beranjak jauh dari zaman di mana sastra masih ditindas oleh
kekangan masyarakat ataupun agama, seperti pada masa Flaubert, yang karyanya Madame Bovary dihujat sebagai
amoral, dan zaman DH Lawrence, yang karyanya Lady Chatterly’s Lover dianggap mesum, dan James Joyce dengan
karyanya Ulysses yang terpaksa harus diterbitkan di Perancis, karena dianggap porno! Tetapi sebelum para penulis
berani ini, mereka sudah punya kolega yang tidak kalah beraninya: Daniel Dafoe di abad ke-18, dengan karya yang berani
Moll Flanders tentang pelacuran, di abad ke-16, Rabelais dengan karya Gargantua and Pantagruel yang heboh karena
keberaniannya mencatat kebobrokan manusia dalam del-del yang berani, dan Chaucer, di abad ke-14 bahkan
sebelum Shakespeare, dengan karyanya Canterbury’s Tales, melukiskan keanekaragaman karakter manusia dari yang
munafik hingga yang seronok.
Di masanya, penulis-penulis ini dianggap sangat kontroversial dan sering ditindas oleh para wali agama ataupun
penguasa, tetapi hari ini mereka kita anggap sebagai pahlawan-pahlawan sastra yang karyanya dipelajari oleh siswa-
siswa di sekolah di segala penjuru dunia.
Penafsiran pada suatu karya sastra menurut saya menjadi problematika kalau tolok ukurnya adalah moralitas. Penulis
sastra tidak bertanggung jawab pada suatu masyarakat ataupun pembaca akan keabsahan moralitas mereka dalam
karya-karya yang ditampilkannya. Seorang seniman menciptakan sebuah karya tidak berdasarkan suatu konsensus
massa ataupun masa, tujuan akhir dari sebuah karya bukanlah betapa tingginya nilai moralitas yang dicapai tetapi
seberapa jauhnya estetika ataupun moralitas yang dianut sekelompok masyarakat dapat digeserkan. Karena melalui tiap
pergeseran ini, yang sebenarnya juga merupakan cerminan dari masyarakat itu sendiri, maka terciptalah karya-karya
terobosan besar. Persoalan menjadi semakin runyam ketika penulis-penulis yang berani menulis karya-karya yang berani
dikaitkan dengan kebobrokan pribadi mereka. Atau mereka dianggap pengaruh negatif yang merusak serat moralitas
masyarakat.
Di sini letak kemunafikan suatu komunitas. Karena di satu sisi para seniman diminta untuk melakukan terobosan dengan
berani dalam karya-karya mereka, di sisi lain mereka juga diberikan batas-batas kelayakan yang dianggap merupakan
konsensus umum yang perlu dipertahankan. Alasan mereka selalu adalah bila tidak pilar-pilar kesusilaan sipil akan
roboh. Apakah kehebatan suatu masyarakat dan kemandiriannya bisa dirobohkan oleh karya-karya seni? Pertanyaan
selanjutnya adalah bagaimana suatu karya seni bisa melakukan terobosan dengan batas-batas seperti ditetapkan oleh
para petinggi moralitas itu? Saya kira pertanyaan balasan yang tepat adalah kenapa pula kita perlu takut dengan karya-
karya berani ini? Kalau kita tidak ingin anak-anak kita membaca karya-karya tertentu, atau pemikiran kita bahwa mereka
masih belum siap membaca karya-karya tertentu, kita bisa melarang mereka untuk tidak membaca karya-karya itu. Jadi
batas-batas kelayakan pada karya sastra tidak perlu kita pergunjingkan sebagai persoalan publik tetapi membataskannya
menjadi suatu persoalan individu. Seperti juga bagaimana kita menyambut dengan gembira buku-buku berbobot
moralitas tinggi, kita seharusnya juga bisa menyambut dengan toleransi yang tinggi buku-buku yang berani menerobos ’
batas-batas’ kelayakan itu. Keberatan kita dan ketakutan kita menerima karya-karya tersebut hanya mencerminkan
keangkuhan supremasi moralitas kita atau memberikan kesan seakan batas zona keamanan pribadi sedang terancam.
Di sini kita perlu bedakan antara erotisisme dan pornografi, karena kedua hal sering disalahtafsirkan, atau menjadi
tercampuraduk dalam pembahasan soal kelayakan dalam satu karya seni. Eros dan erotisisme oleh Octavio Paz
digambarkan sebagai kecenderungan yang normal bagi manusia yang punya imajinasi dan budi pekerti. Berbeda dengan
hewan yang dalam tindakan seksualnya hanya untuk mereproduksi, menurut Octavio Paz, manusia mempunyai kapasitas
untuk merasakan kenikmatan dan punya daya imajinasi yang tinggi untuk menambah nilai kenikmatan itu dalam
hubungan seksual. Dengan demikian, erotisisme adalah bagian yang wajar dari fakultas manusiawi, sedangkan
pornografi adalah suatu penghasutan indera yang tidak mempunyai nilai imajinasi. Repetisi imaji yang ditampilkan untuk
menggugah berahi terlihat jelas sangat mekanis dan tidak mempunyai nilai-nilai estetika ataupun tujuan lain selain
menggugah insting-insting purba dalam diri kita.
Berbicara tentang estetika dan etika, perlu juga kita bahas apakah sebuah karya perlu ada sebuah tujuan etika yang
konkret. Perlukah sebuah karya punya misi moralitas? Inilah antara lain hal yang sering dipersoalkan dalam pembahasan
krisis moral dalam kesusastraan kita. Persoalan ini menurut saya akan sangat sulit diselesaikan karena kalau kita
serapkan apa yang ditulis oleh Nietzsche dalam karyanya The Genealogy of Morals, maka sangat jelas sekali bahwa
seharusnya kita menanggapi pergeseran moralitas dalam karya seni dengan keringanan jiwa. Karena persoalan
moralitas akan sangat relatif. Bagaimana seseorang mengukur batas-batas etika yang seharusnya ataupun seharusnya
tidak dilanggar dalam sebuah karya? Apakah karya-karya seni harus merujuk pada suatu pakam moralitas suatu
kepercayaan ataupun suatu konsensus massa? Bila demikian halnya, saya kira karya-karya yang diciptakan tidak lagi bisa
dikategorikan sebagai karya seni, tetapi lebih mendekati karya-karya hymna bagi suatu kepercayaan.
Tuntutan pada seorang seniman menjadi seorang panutan moralitas tinggi menurut saya adalah penafsiran yang salah
pada fungsi seorang seniman. Penafsiran ini seakan menempatkan seorang seniman pada posisi seorang pengkhotbah
ataupun seorang wali terhormat dari suatu masyarakat. Pemikiran demikian sangat bertolak belakang dengan kenyataan
posisi seorang seniman. Seniman di bidang mana pun senantiasa akan tetap merupakan manusia marjinal. Posisi
mereka, bila bukan karena dalam realitas mereka memang terpojok ke pinggiran kehidupan, adalah pilihan mereka
sendiri dalam menempatkan diri di pinggiran sehingga mereka dapat menyaksikan ataupun meneropong dunia dari
dekat, yang kemudian, melalui kepedihan hasil pergelutan kehidupan mereka dengan dunia ataupun kejeliannya dalam
mengupas kehidupan di hadapan mata mereka, akan menjelma menjadi keoriginalitas karya-karya seniman itu.
Lihat dalam sejarah kesusastraan dunia dan Anda akan menemukan nama-nama besar seperti Rimbaud, penyair muda
yang berhenti menulis syair pada saat dia berumur 20 tahun, yang mempunyai metode khusus mengakses keaslian
jiwanya dengan membius otaknya dengan rangsangan alkohol dalam kuantitas yang tinggi. Pelbagai penggunaan obat
terlarang juga dilakukan oleh penulis-penulis besar, seperti dengan opium oleh Graham Greene, LSD oleh semua
penulis generasi Beatnik dari Allen Ginsberg hingga Jack Keruac, dan di era 80-an, kokain oleh Jay McInnerny, dan
alkohol, pilihan Bacchus favorit rata-rata semua penulis, dari William Faulkner hingga Dylan Thomas. Mereka ini manusia
besar dalam kesusastraan yang gagal dalam ketertiban kehidupan sehari-hari. Mereka jauh dari manusia sempurna yang
didambakan banyak orang. Karya-karya mereka diciptakan juga bukan untuk diukur dari segi bobot moralitas pribadi
mereka, tetapi dari kedalaman jiwa mereka yang lahir dari pergesekan mereka dengan dunia.
Sampai di sini, saya mendengar keluhan sang moralis yang menanyakan, "Jadi apa fungsi sastra sebenarnya?" Sastra
menurut saya adalah muntahan balik dari seorang penulis kepada masyarakatnya. Keberaniannya dan ketulusannya
dalam berkarya adalah keoriginalitas suaranya. Perkembangan sastra sudah lama bergeser dari karya-karya sastra yang
gentil. Karya-karya penuh bobot moralitas Jane Austen hingga Nathaniel Hawthorn sudah tergeser oleh karya-karya
pembangkang seperti Flaubert, James Joyce, DH Lawrence, Baudelaire, dan pada era modern oleh hampir semua
penulis berani dari Jean Genet, Allen Ginsberg, Bukowski, John Fante hingga oleh pemenang Nobel tahun 2004 Elfriede
Jelinek. Hampir semua tabu dalam kehidupan sudah dilabrak oleh penulis-penulis ini. Adalah sangat egois bagi para
petinggi moralitas di negara kita menuntut bahwa penulis-penulis kita kembali ke zaman abad pertengahan dan
mengabadikan karya-karya mereka pada kebesaran moralitas dengan huruf M besar, sedangkan perkembangan sastra
dunia sudah berlaju demikian maju dan sudah lama meninggalkan rambu-rambu moralitas yang masih dipersoalkan kita.
Karena selain tidak mungkin memutarbalikkan perkembangan masa, saya rasa tuntutan para petinggi moralitas ini
sangat mengganjal perkembangan sastra di negeri ini. Persoalan moralitas seharusnya dibahas dalam konteks di luar
kesenian seperti dalam forum kebatinan ataupun dalam kajian sosiologi. Karena persoalan moralitas sangat
berseberangan dengan penciptaan karya seni. Seniman tidak kenal rambu-rambu moralitas dalam penciptaan mereka.
Yang disasarkan dalam setiap karya seni bukan lagi capaian moralitas, tetapi capaian originalitas dalam suara, visi
ataupun estetika. Sastra dunia sudah mencapai titik capaian yang begitu maju sehingga ia tidak lagi mencoba mengupas
moralitas manusia tetapi lebih pada bagaimana menangkap dilema ataupun paradoks manusia dalam sekeping
kehidupannya. Kadang bahkan tanpa suatu tujuan ataupun subyek yang jelas, selain potret-portret kecil suatu kehidupan
seperti yang ditampilkan dalam cerita-cerita penulis Sicilia Giovanni Verga.
Menutup penulisan ini saya ingin mengutip Oscar Wilde, juga salah satu spirit pembangkang dalam kesusastraan yang
ditindas oleh para petinggi moralitas masyarakatnya pada masanya. Dia mengatakan bahwa kebenaran tidak lagi benar
bila ia diterima oleh semua pihak. Semangat setiap pekerja kreatif adalah bagaimana berbagi kebenaran individunya
dengan dunia di mana dia bercokol. Persembahan mereka yang diperoleh dari tetes-tetes darah jiwa mereka merupakan
ungkapan kecintaan ataupun ketulusan mereka pada dunia. Penindasan, penghujatan, pendakwahan negatif pada karya-
karya seni sudah bukan hal baru lagi bagi mereka, dan tidak pernah berhasil menghalangi mereka, bahkan malah
mengobarkan semangat mereka, untuk tetap menampilkan tiap karya mereka dengan keberanian dan ketulusan yang
tidak dapat dikompromikan. *
Richard Oh Direktur Toko Buku QB
Sumber: Kompas Cyber Media