05/12/2008 17:21
Rupiah Rangking 6 dalam Peringkat Mata Uang Paling Lemah
Wahyu Daniel - detikcom
Bandung, Rupiah menjadi salah satu mata uang terlemah di dunia. Rupiah menempati peringkat 6 mata uang terlemah di dunia, karena nilai depresiasinya yang cukup tajam.
Hal ini dikatakan oleh Pengamat Pasar Uang Farial Anwar dalam workshop wartawan ekonomi dan moneter tentang "Instrumen Moneter BI & Pasar Valuta Asing" di Hotel Grand Preanger, Bandung, Jumat (5/12/2008).
"Nilai rupiah masuk ke dalam mata uang yang paling tidak punya nilai atau junk money. Indonesia masuk peringkat 6 terendah, peringkat pertama Zimbabwe, kedua Turmekistan dan ketiga Vietnam," tuturnya.
Farial mengatakan pelemahan nilai tukar rupiah juga sangat tajam. "Kita dinilai menjadi mata uang paling buruk di dunia," imbuhnya.
Sebagai gambaran buruknya pelemahan nilai mata uang rupiah, Farial mengatakan pada periode Desember 2007 dibanding dengan Desember 2008, mata uang Bath Thailand hanya melemah 5% dari 33,69 Bath menjadi 35,55 Bath/US$.
"Sementara rupiah melemahnya sangat tajam yaitu 28%, dari Rp 9.390/US$ pada Desember 2007 menjadi Rp 12.000-an/US$ di Desember 2008. Jadi mata uang kita paling hebat guncangannya di dunia," tandasnya.
Ada beberapa alasan rupiah sangat mudah bergejolak terhadap dolar AS. Farial mengatakan salah satu alasannya adalah rezim devisa bebas.
"Ini harus diubah menjadi devisa terkendali dimana arus hot money perlu dibatasi waktunya, lalu devisa hasil ekspor swasta harus dimasukkan kepada perbankan dalam negeri," katanya.
Farial juga mengatakan penempatan dana asing di SBI juga menjadi salah satu faktor pelemahan rupiah. "Kenapa kok asing dibiarkan masuk SBI, padahal SBI kan untuk mengelola moneter dalam negeri, apalagi kita juga harus bayar bunga kepada asing, lebih baik kan untuk masyarakat," tandasnya.
Selain itu, Farial menjelaskan untuk mengantisipasi pelemahan rupiah yang terjadi, semua transaksi derivatif yang dilakukan oleh perusahaan harus ada underlying transaction-nya.
"Akan tetapi, pembatasan pembelian dolar yang tidak ada underlying transaction maksimal US$ 100 ribu per bulan, ini sangat berpengaruh kepada berkurangnya spekulasi dolar," katanya.
Mengenai penurunan BI rate sebesar 25 bps menjadi 9,25%, Farial mengatakan penurunan itu belum cukup menjadi stimulus perekonomian.
Rupiah Rangking 6 dalam Peringkat Mata Uang Paling Lemah
Wahyu Daniel - detikcom
Bandung, Rupiah menjadi salah satu mata uang terlemah di dunia. Rupiah menempati peringkat 6 mata uang terlemah di dunia, karena nilai depresiasinya yang cukup tajam.
Hal ini dikatakan oleh Pengamat Pasar Uang Farial Anwar dalam workshop wartawan ekonomi dan moneter tentang "Instrumen Moneter BI & Pasar Valuta Asing" di Hotel Grand Preanger, Bandung, Jumat (5/12/2008).
"Nilai rupiah masuk ke dalam mata uang yang paling tidak punya nilai atau junk money. Indonesia masuk peringkat 6 terendah, peringkat pertama Zimbabwe, kedua Turmekistan dan ketiga Vietnam," tuturnya.
Farial mengatakan pelemahan nilai tukar rupiah juga sangat tajam. "Kita dinilai menjadi mata uang paling buruk di dunia," imbuhnya.
Sebagai gambaran buruknya pelemahan nilai mata uang rupiah, Farial mengatakan pada periode Desember 2007 dibanding dengan Desember 2008, mata uang Bath Thailand hanya melemah 5% dari 33,69 Bath menjadi 35,55 Bath/US$.
"Sementara rupiah melemahnya sangat tajam yaitu 28%, dari Rp 9.390/US$ pada Desember 2007 menjadi Rp 12.000-an/US$ di Desember 2008. Jadi mata uang kita paling hebat guncangannya di dunia," tandasnya.
Ada beberapa alasan rupiah sangat mudah bergejolak terhadap dolar AS. Farial mengatakan salah satu alasannya adalah rezim devisa bebas.
"Ini harus diubah menjadi devisa terkendali dimana arus hot money perlu dibatasi waktunya, lalu devisa hasil ekspor swasta harus dimasukkan kepada perbankan dalam negeri," katanya.
Farial juga mengatakan penempatan dana asing di SBI juga menjadi salah satu faktor pelemahan rupiah. "Kenapa kok asing dibiarkan masuk SBI, padahal SBI kan untuk mengelola moneter dalam negeri, apalagi kita juga harus bayar bunga kepada asing, lebih baik kan untuk masyarakat," tandasnya.
Selain itu, Farial menjelaskan untuk mengantisipasi pelemahan rupiah yang terjadi, semua transaksi derivatif yang dilakukan oleh perusahaan harus ada underlying transaction-nya.
"Akan tetapi, pembatasan pembelian dolar yang tidak ada underlying transaction maksimal US$ 100 ribu per bulan, ini sangat berpengaruh kepada berkurangnya spekulasi dolar," katanya.
Mengenai penurunan BI rate sebesar 25 bps menjadi 9,25%, Farial mengatakan penurunan itu belum cukup menjadi stimulus perekonomian.