Sastra Multikultural Pemersatu Bangsa
Kompas - Sastra multikultural tidak bisa dilepaskan dari kehidupan
berbangsa dan bernegara saat ini. Jika pemerintah memiliki good will
untuk mengelola dan memberikan dukungan terhadap pertumbuhannya,
sastra multikultural dapat berguna sebagai alat pemersatu bangsa.
Demikian diungkapkan sastrawan Budi Darma selaku pembicara dalam
seminar Pertemuan Sastrawan Nusantara (PSN) XIII, Selasa (28/9) di
Surabaya. "Negara yang kedatangan migran selalu menimbulkan masalah
budaya. Di situ muncul masalah krisis identitas karena adanya dominasi
dari para pendatang yang membawa ciri khas daerah mereka
masing-masing," ujarnya.
Ia mencontohkan seorang pengarang Amerika keturunan China bernama Amy
Tan, yang dari sejumlah karyanya selalu berujung pada "Aku adalah
orang China, tetapi benarkah aku orang China? Tidak benar, karena aku
adalah orang Amerika. Namun, benarkah aku orang Amerika? Ah tidak, aku
orang China".
Meskipun belum menjadi bagian penting dari sastra Indonesia, beberapa
karya sastra multikultural banyak bermunculan di dunia sastra
Indonesia. Contohnya adalah warna China dalam beberapa karya, seperti
novelet Bibi Giok (Zarra Zettira), novel Miss Lu (Naning Pranoto), dan
novelet Pai Yin (Lan Fang).
"Krisis identitas ini muncul sesuai dengan situasi politik. Ketika
situasi dan kondisi politik memanas, mau tidak mau, krisis identitas
yang awalnya tidak terasa temperaturnya menjadi melonjak," ujar Budi
Darma menambahkan.
Sastrawan Singapura Djamal Tukimin-yang juga menjadi pembicara dalam
seminar PSN tersebut-juga mengatakan, masalah multikulturalisme
berkembang menurut budaya masyarakatnya. "Di Singapura, ada cerpen
dengan watak China atau India, yang membawa falsafah hidup
masing-masing. Namun, karena pemerintah sangat mendukung, sastra itu
dapat berkembang baik," ungkapnya.
Menurut penilaian Djamal, krisis identitas dalam sastra Singapura
tidak sampai memanas seperti yang terjadi di Indonesia, misalnya.
Pemerintah sangat akomodatif sehingga multikulturalisme justru
memperkaya kesusastraan Singapura. "Asal ingat, tidak menyentuh
masalah agama dan secara politis tidak saling menghina antara satu
etnis dan etnis yang lainnya. Itu pantangan besar," papar Djamal.
Peran dan kebijakan pemerintah sangat signifikan bagi perkembangan
sastra multikultural. Ketika pemerintah mempunyai gairah politik untuk
mendukung sastra, terjadilah "sastra perkauman" seperti di Malaysia,
yang membawa sastra Malaysia berada pada kedudukan duduk sama rendah
dan berdiri sama tinggi.
Sebagai negara multikultural, imbuhnya, Indonesia mempunyai kesempatan
menumbuhkan sastra multikultural. Dengan campur tangan pemerintah yang
memiliki kesadaran akan identitas semacam itu, persatuan bangsa bukan
merupakan hal yang sulit dan huru-hara rasial seperti peristiwa Mei
1998 tidak terulang.
Kompas - Sastra multikultural tidak bisa dilepaskan dari kehidupan
berbangsa dan bernegara saat ini. Jika pemerintah memiliki good will
untuk mengelola dan memberikan dukungan terhadap pertumbuhannya,
sastra multikultural dapat berguna sebagai alat pemersatu bangsa.
Demikian diungkapkan sastrawan Budi Darma selaku pembicara dalam
seminar Pertemuan Sastrawan Nusantara (PSN) XIII, Selasa (28/9) di
Surabaya. "Negara yang kedatangan migran selalu menimbulkan masalah
budaya. Di situ muncul masalah krisis identitas karena adanya dominasi
dari para pendatang yang membawa ciri khas daerah mereka
masing-masing," ujarnya.
Ia mencontohkan seorang pengarang Amerika keturunan China bernama Amy
Tan, yang dari sejumlah karyanya selalu berujung pada "Aku adalah
orang China, tetapi benarkah aku orang China? Tidak benar, karena aku
adalah orang Amerika. Namun, benarkah aku orang Amerika? Ah tidak, aku
orang China".
Meskipun belum menjadi bagian penting dari sastra Indonesia, beberapa
karya sastra multikultural banyak bermunculan di dunia sastra
Indonesia. Contohnya adalah warna China dalam beberapa karya, seperti
novelet Bibi Giok (Zarra Zettira), novel Miss Lu (Naning Pranoto), dan
novelet Pai Yin (Lan Fang).
"Krisis identitas ini muncul sesuai dengan situasi politik. Ketika
situasi dan kondisi politik memanas, mau tidak mau, krisis identitas
yang awalnya tidak terasa temperaturnya menjadi melonjak," ujar Budi
Darma menambahkan.
Sastrawan Singapura Djamal Tukimin-yang juga menjadi pembicara dalam
seminar PSN tersebut-juga mengatakan, masalah multikulturalisme
berkembang menurut budaya masyarakatnya. "Di Singapura, ada cerpen
dengan watak China atau India, yang membawa falsafah hidup
masing-masing. Namun, karena pemerintah sangat mendukung, sastra itu
dapat berkembang baik," ungkapnya.
Menurut penilaian Djamal, krisis identitas dalam sastra Singapura
tidak sampai memanas seperti yang terjadi di Indonesia, misalnya.
Pemerintah sangat akomodatif sehingga multikulturalisme justru
memperkaya kesusastraan Singapura. "Asal ingat, tidak menyentuh
masalah agama dan secara politis tidak saling menghina antara satu
etnis dan etnis yang lainnya. Itu pantangan besar," papar Djamal.
Peran dan kebijakan pemerintah sangat signifikan bagi perkembangan
sastra multikultural. Ketika pemerintah mempunyai gairah politik untuk
mendukung sastra, terjadilah "sastra perkauman" seperti di Malaysia,
yang membawa sastra Malaysia berada pada kedudukan duduk sama rendah
dan berdiri sama tinggi.
Sebagai negara multikultural, imbuhnya, Indonesia mempunyai kesempatan
menumbuhkan sastra multikultural. Dengan campur tangan pemerintah yang
memiliki kesadaran akan identitas semacam itu, persatuan bangsa bukan
merupakan hal yang sulit dan huru-hara rasial seperti peristiwa Mei
1998 tidak terulang.