Forum Mahasiswa Aceh Singkil Subulusalam

Would you like to react to this message? Create an account in a few clicks or log in to continue.
Forum Mahasiswa Aceh Singkil Subulusalam

Forum ini adalah Wadah Komunikasi dan Berbagi segala Informasi bagi Mahasiswa/i Aceh Singkil-Subulussalam dan sekitarnya...


    Budaya Aceh Pascakonflik dan Tsunami

    Salmukom
    Salmukom
    Admin


    Jumlah posting : 103
    Join date : 27.11.08
    Age : 42
    Lokasi : Medan - Sumatera Utara - Indonesia

    Budaya Aceh Pascakonflik dan Tsunami Empty Budaya Aceh Pascakonflik dan Tsunami

    Post  Salmukom Tue 2 Dec 2008 - 20:10

    Budaya Aceh Pascakonflik dan Tsunami

    Berbicara tentang budaya Aceh takkan pernah habis dan tak pernah selesai sampai kapan pun. Topik yang satu ini menarik dibicarakan, terutama karena budaya itu sendiri sesungguhnya merupakan segala hal yang berhubungan dengan hidup dan kehidupan manusia. Jadi, selama manusia itu ada, selama itu pula persoalan budaya akan terus dibicarakan. Demikian pula halnya dengan budaya Aceh.
    Kehilangan demi kehilangan yang menimpa orang Aceh sebenarnya telah membuat banyak perubahan dalam tatanan kehidupan masyarakatnya. Perubahan itu ada yang bersifat positif, tentu pula tidak sedikit yang bersifat negatif. Perubahan positif akan kita catat dalam sejarah peradaban Aceh sebagai suatu prestasi atau perkembangan, sedangkan yang bersifat negatif marilah sama-sama kita cegah jauh-jauh hari sebelum terlambat. Baik positif maupun negatif, pembicaraan budaya di Aceh ini dibatasi pascakonflik dan tsunami.
    Perubahan positif antara lain, lahirnya penulis-penulis baru dan munculnya penyanyi-penyanyi baru di Aceh. Hal ini terbukti dari banyaknya buku yang ditulis oleh orang Aceh mengisahkan konflik dan tsunami. Begitu pula nyanyi Aceh, sangat beragam nyanyi Aceh yang beredar di toko-toko kaset saat ini. Intinya, jika kita ingin mendengar lagu Aceh, kita sudah dapat memilih beberapa kaset atau CD yang beredar di pasaran dan tidak susah mencarinya. Andai tidak cukup duit untuk membeli CD-CD itu, kita dapat memutar beberapa gelombang radio yang dengan rutin pula memutar lagu-lagu Aceh.
    Fenomena ini menunjukkan bahwa konflik dan tsunami telah membawa banyak ilham pada generasi muda Aceh untuk mengimplementasikan kebudayaannya. Dengan demikian, budaya Aceh saat ini dapat dilihat, ditemukan, atau dinikmati oleh siapa pun yang berminat di berbagai tempat dan media.
    Mencermati permasalahan di atas, ada beberapa perubahan dalam masyarakat kita saat ini. Perubahan tersebut terdapat pada pandangan masyarakat Aceh terhadap petuah atau kebiasaan-kebiasaan yang telah turun-temurun berlaku dalam masyarakat. Petuah atau kebiasaan yang dinamakan adat-istiadat (kebudayaan) itu kini mulai dikesampingkan oleh generasi muda kita dalam karya-karyanya. Masalah yang kedua ini penulis namakan perubahan negatif yang terjadi pascakonflik dan tsunami.
    Sehubungan dengan itu marilah kita cermati bagaimana ssungguhnya budaya Aceh. Budaya yang dijalani oleh masyarakat Aceh adalah budaya yang islami. Artinya kebiasaan-kebiasaan yang berlaku dalam masyarakat Aceh tidak bertentangan dengan ajaran islam. Budaya yang islami ini kita harapkan dapat tercermin dalam semua laku dan kehidupan orang Aceh, tidak terkecuali dalam buku-buku yang ditulis oleh generasi muda Aceh terkini dan CD-CD Aceh yang sedang marak-maraknya dijual di pasaran. Dengan demikian, jika anak cucu kita kelak atau orang lain membaca atau menonton VCD-VCD Aceh, mereka sekaligus dapat menatap, menikmati, dan melestarikan kebudayaan itu dalam kehidupannya. Artinya, dalam menulis apa saja yang berlatar belakang keacehan, penulis itu haruslah mengedepankan persoalan yang satu ini. Begitu pula bagi yang terlibat dalam pembuatan VCD-VCD Aceh, baik penyanyi, maupun model-model (bintang) yang dipertontonkan dalam VCD itu, hendaknya memperhatian nilai-nilai budaya yang berlaku dalam masyarakat Aceh. Hal ini perlu kita ingatkan bersama oleh karena media ini (VCD) merupakan salah satu media yang sangat ampuh dalam menyampaikan pesan-pesan kebudayaan.
    Pesan budaya yang ada dalam VCD tidak hanya dapat didengar, tetapi dapat pula disaksikan dengan mata kepala seseorang baik yang berasal dari Nanggroe Aceh Darussalam, maupun yang berasal dari luar. Dengan menonton VCD yang bernuansa keacehan, secara tidak langsung orang itu sudah melihat kebudayaan Aceh yang sesungguhnya. Singkatnya, VCD aceh dapat menjadi cerminan kehidupan masyarakat Aceh. Oleh karena VCD-VCD itu sesungguhnya merupakan miniatur kehidupan sosial masyarakat Aceh.
    Sebagai sebuah miniatur kehidupan masyarakat Aceh, VCD Aceh hendaknya dapat menggambarkan kehidupan masyarakat Aceh yang alamiah dan islami. Kalau kita tidak memperhatikan kedua hal itu (alamiah dan islami) orang yang menonton VCD aceh akan mengira orang Aceh itu munafik. Munafik yang dimaksud adalah lain yang dielu-elukan di mulut, lain pula yang dijalankan dalam kehidupan sehari-hari.
    Kenyataan ini tertera hampir pada semua sampul VCD aceh saat ini, perempuan yang menjadi model pada sampul CD tersebut sangat banyak yang tidak memakai jilbab. Ironisnya lagi dara-dara Aceh yang cantik, mulus, dan berhidung mancung itu memakai celana jeans dan bertopi. Busana yang mereka pakai lagaknya busana bintang-bintang film luar negeri saja. Belum lagi dalam VCD aceh itu ditayangkan pula laki-laki yang memakai anting. Sungguh suatu hal yang tidak dapat ditolerir dan tak dapat dibiarkan oleh pihak-pihak pemangku adat di Aceh jika kita tidak ingin adat Aceh itu menjadi hancur.
    Dua permasalahan berpakaian di Aceh yang tercermin dalam sampul CD dan VCD aceh itu, jika dibiarkan terus-menerus tanpa ada badan atau pihak yang mengontrol, penulis yakin suatu ketika adat Aceh yang selama ini kita anuti akan hilang bersamaan dengan melajunya globalisasi di Aceh. Permasalahan ini tidak besar memang jika dipandang oleh orang lain yang tak memahami palsafah hidup orang Aceh. Namun, tidak demikian halnya bagi orang-orang yang mengetahui dalam dirinya mengalir darah para syuhada Aceh. Permasalahan berbusana ini merupakan suatu persoalan adat tak tertulis yang sudah diatur jauh sebelum diterapkannya syariat Islam di Aceh dan bagi yang melanggar sesungguhnya akan mendapat hukuman tak tertulis pula dari masyarakat.
    Masalah adat berbusana di Aceh merupakan pembicaraan sangat urgen dalam deretan khasanah kebudayaan lainnya. Sebab, di NAD jauh sebelum berlakunya syariat Islam sebenarnya kebiasaan-kebiasaan berpakaian itu sudah ada ketentuannya, yakni sesuai dengan ajaran Islam. Hal ini terjadi karena adat-istiadat di NAD tidak bertentangan dengan agama, bahkan disebutkan adat dan agama itu tak ubahnya seperti zat dan sifat, tidak dapat dipisahkan.
    Lalu bagaimanakah idealnya busana aceh? Busana aceh itu definisinya sangat sederhana, yakni busana/ pakaian yang menutup aurat. Di Aceh, pakaian laki-laki dan perempuan jelas ada perbedaannya. Perempuan mengenakan rok, baju agak longgar, dan memakai tutup kepala “kini dikenal dengan jilbab’, sedangkan asesorisnya biasanya perempuan Aceh memakai cincin emas, gelang tangan emas, kalung emas, anting emas, dan jam tangan. Adapun laki-laki, mengenakan celana panjang, baju kemeja, baju kaos oblong, kopiah/ topi dengan asesoris paling-paling jam tangan.
    Pengelompokan busana Aceh yang telah penulis deskripsikan di atas memperlihatkan pada kita betapa mudah dan indahnya aturan berbusana di Aceh, sehingga kecil sekali kemungkinannya orang Aceh akan salah memilih busana. Jika ada orang yang keliru memilih busana, misalnya topi/ kopiah dipakai oleh anak perempuan, atau anting dipakai oleh anak laki-laki, orang itu disebut tidak waras. Sebab hanya orang yang sudah tidak waras yang mau memakai pakaian yang bukan pakaiannya. Misalnya anting atau keurabu bahasa Aceh, asesoris itu siapa pun yang mengakui dirinya orang Aceh, dari zaman dahulu hingga sebelum tsunami menghancurkan NAD tidak pernah menempel pada telinga seorang laki-laki ‘aneuk agam’. Kalau juga hal itu terdapat pada seorang anak Aceh yang lahir, hidup, dan tinggal di Aceh, anak laki-laki yang memakai anting itu disebut pungoe. Seandainya anak tersebut masih memiliki orang tua, orang tuanyalah yang dikatakan tidak tahu mengajar anak, atau anak yang demikian dikatakan tak tahu adat dan dia serta seluruh keluarganya akan dikucilkan dalam masyarakat.
    Namun, apa yang sedang berlaku saat ini, dara-dara Aceh yang ceudah jeulita ‘cantik menawan’ menari-nari tanpa busana muslim. Mereka tidak memakai rok layaknya perempuan-perempuan Aceh. Mereka juga tidak memakai baju longgar, melainkan sebaliknya, dan mereka juga tidak menutup kepalanya dengan jilbab atau ija top ulee, tetapi menutupnya dengan topi ala Eropa. Di dalam tayangan VCD itu kita juga dapat melihat ureung agam memakai anting dengan rambut model bintang film luar negeri. Inikah kebudayaan Aceh pascakonflik dan tsunami? Masyaallah!
    Melalui tulisan ini, penulis ingin mengetuk pintu hati petinggi-petinggi NAD yang berwenang mengayomi dan melindungi adat-istidat Aceh. Sebaiknya dapat dimanfaatkan badan yang salama ini mengurus adat-istiadat atau paling tidak ditunjuk sebuah tim yang khusus menyensor VCD aceh. Tim sensor ini yang akan menilai apakah tanyangan VCD itu bertentangan dengan adat-istiadat Aceh atau tidak. Seterusnya tim ini pula yang akan merekom dapat atau tidaknya VCD tersebut dijual. Matee aneuk mupat jeurat, gadoh adat pat tamita?

      Waktu sekarang Sun 19 May 2024 - 14:45